Gontor, 80 Tahun Kemudian

Gontor, 80 Tahun Kemudian

Oleh Damanhuri
Santri Pondok Modern Gontor Periode 1991-1995


Ketika kuku-kuku kolonialisme-imperialisme masih begitu kuatnya menunjukkan daya cengkeramnya atas bumi Nusantara dan antipati atas segala hal yang "berbau" Belanda pun belum lagi surut dari ranah kognitif umat Islam; nun jauh di sebuah pelosok desa yang berbatasan dengan reruntuhan pesantren Tegalsari-Ponorogo yang melahirkan pujangga terakhir Jawa, Ronggowarsito, berdirilah sebuah lembaga pendidikan Islam yang di kemudian hari dikenal sebagai Pondok Modern Gontor. Sebuah pesantren yang, untuk pertama kalinya, tidak saja memasukkan mata pelajaran "sekuler" dalam kurikulum pendidikannya, tapi juga mengadopsi metodologi pengajaran modern yang hampir sepenuhnya mereplika model pendidikan Belanda.
***

Eksperimen pembaruan pendidikan Islam yang delapan puluh tahun lalu (1926) digagas oleh tiga bersaudara Ahmad Sahal, Zainuddin Fannani dan Imam Zarkasyi tersebut jelas sebuah anomali dan langkah subversif pada zamannya. Sebab, saat mayoritas umat Islam masih bersikukuh dengan etos tradisionalisme dan segala derivatnya--seperti berpegang dengan dalil "Man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhu" ("Barangsiapa meniru gaya hidup suatu kelompok maka dia merupakan bagian darinya"), misalnya--founding fathers Gontor justru mengujicobakan model pendidikan Islam dengan meniru gaya pendidikan Belanda di mana musik, olahraga, dan kepanduan--sekadar menunjuk tiga hal yang kala itu masih dianggap "bid'ah" dalam dunia pendidikan Islam--merupakan aktivitas yang integral dalam rangkaian pendidikan Gontor.

Di titik ini, seperti pernah ditegaskan almarhum Nurcholish Madjid (Gatra, 12 Oktober 1996), barangkali tak terlalu berlebihan jika, bagi sebagian orang, "perkataan 'Gontor' hampir identik dengan ide tentang pendidikan Islam yang diselenggarakan dengan cara modern". Sebab, demikian kata Nurcholish, tentu saja suatu hal yang sangat memukau bahwa dalam tahun yang sama dengan kelahiran NU dan dua belas tahun setelah Muhammadiyah, para pendiri Gontor sudah "mampu menggagas sebuah sistem pendidikan pesantren yang berwawasan sangat maju dan bahkan sangat revolusioner untuk zamannya."

Kendati harus segera ditambahkan, bahwa jika dilacak akar historis yang membidani kelahirannya, sebagaimana kelahiran Muhammadiyah, Gontor pun pada dasarnya merupakan wujud lain unintended consequence (akibat tak diniatkan) dari proyek-gagal Politik Etis Belanda yang semula dimaksudkan untuk "mencetak" kaum terpelajar yang kooperatif bagi kepentingan penjajah tapi malah melahirkan lapisan terpelajar yang memelopori pelbagai gerakan perlawanan. Singkatnya, para pendiri Gontor merupakan lulusan sekolah Belanda (HIS) yang, tak seperti diagendakan, pada gilirannya justru mengkhianati ambisi tersembunyi dalam cetak-biru gerakan Politik Etis Belanda itu.

Tapi, di luar soal unintended consequence yang bahkan dengan sedikit berlebihan juga diakui oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Saya terbakar Amarah Sendirian (2006), dengan mengatakan bahwa kaum penjajah Belanda-lah yang berjasa melahirkan bangsa Indonesia, bagaimanapun hampir tak tersedia alasan untuk tak mengatakan Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang mendahului zamannya. "Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas," sebagai empat pilar yang dijadikan spirit dalam kehidupan Gontor, di samping diusungnya beragam ikon modernitas seperti disebutkan sebelumnya, misalnya, tentu saja bukan sebuah terobosan sederhana yang tak memiliki impak dengan jangkauannya yang begitu signifikan.

Ihwal "berpikiran bebas" yang juga kian diperkuat dengan beragam jargon lain seperti "Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan", misalnya, bisa dilihat dari (ideologi) politik pendidikan Gontor yang bersikap non-sektarian dan sepenuhnya menampik tendensi parokialisme (keagamaan). Kesetiaan buta kepada hanya salah satu mazhab fikih, sebab itu, bukan sekadar sesuatu yang tak dianjurkan; tapi malah dianggap sebagai ketidakdewasaan beragama. Ini setidaknya diwujudkan dengan dipilihnya kitab fikih Bidayat al-Mujtahid karya filsuf-cum-juris Ibnu Rusydi yang menampung produk hukum Islam (fikih) empat mazhab sebagai bahan buku ajarnya.

Tak sekadar dalam ruang lingkup (fikih) Islam, sikap-sikap inklusif-pluralis antaragama pun bahkan sudah mulai ditanamkan dengan dimasukkannya subjek perbandingan agama (muqaaranat al-adyaan) sebagai bahan ajar yang mulai dipelajari santri sejak tingkat SMU. Maka saya sering berandai-andai bahwa kalau saja V.S. Naipaul sempat mengunjungi Gontor saat mengumpulkan bahan risetnya tentang Islam di Indonesia untuk buku Beyond Belief: Excursions Among the Converted Peoples yang kontroversial itu, ia barangkali tidak akan dengan gegabah menyimpulkan pendidikan Islam di pesantren sebagai pendidikan yang "isolating, and beating down and stunning of the mind" (1998: 29).

Sampai noktah ini, saya berani berspekulasi bahwa disebabkan prinsip kebebasan dan keterbukaannya itu pula alumni Gontor tidak seragam dalam pemikiran (dan sikap) keagamaannya. Dengan sedikit melakukan simplifikasi, malah bisalah dikatakan bahwa disebabkan prinsip itu pula para lulusan Gontor menunjukkan tipologi (pemikiran) keagamaan yang membentang dari "yang paling kanan" hingga "yang paling kiri", dari "yang paling fundamentalis" hingga "yang paling liberal".

Nama-nama seperti Abu Bakar Ba'asyir, Amin Abdullah, Hidayat Nurwahid, Nurcholish Madjid, Panji Gumilang, Idham Kholid, Din Syamsuddin, Kautsar Azhari Noer, Kholil Ridwan,Hasyim Muzadi, Hamam Ja'far, atau bahkan A. Mustahal, penulis buku Dari Gontor ke Pulau Buru--sekedar menyebutkan beberapa nama secara acak--adalah beberapa "produk" Gontor dengan kecenderungan (pemikiran) keagamaannya yang berbeda-beda dan bahkan tak jarang "saling sanggah" satu dengan yang lainnya.

Begitulah, dalam usianya yang ke-80 Gontor telah melahirkan banyak alumninya yang dengan caranya sendiri-sendiri telah memberikan kontribusi begitu besar bagi bangsa Indonesia. Dengan aset finansial yang begitu besar dan ditopang manajemen sangat modern untuk ukuran dunia pesantren, kini Gontor bermetamorfosa dalam ratusan lembaga pendidikan Islam sejenis yang menjamur di seantero Nusantara. Meskipun tak boleh dialpakan juga bahwa "tak ada gading yang tak retak". Gontor pun.

Disiplin yang cenderung militeristis, hirarki kepemimpinan kiai yang masih menjalankan pola kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) alih-alih rasional (rational leadership), absennya "hubungan spiritual" yang intens dan hangat antara kiai dengan santri, dan kecenderungan pendidikannya yang terkesan "elitis", misalnya, merupakan beberapa "sisi yang retak" itu dan mau tak mau musti dipertimbangkan ulang oleh para pengasuh dan pendidik Gontor masa kini.

Ihwal kecenderungan yang disebutkan terakhir, elitisme Gontor, gejala tersebut tidak saja dengan gamblang ditunjukkan dalam eksklusivisme (santri) Gontor dari masyarakat sekitar--akibat larangan keras berinteraksi dengan penduduk kampung sekitar--sehingga menjadikan Gontor tak ubahnya enclave yang secara struktural betul-betul terasing dari lingkungannya (Rahardjo, 1982: 20); tapi juga kentara dalam orientasi pendidikannya yang kian hari kian memosisikan diri sebagai menara gading yang seolah hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang berasal dari kalangan ekonomi kelas menengah atas alih-alih menjadi "sekolah rakyat" yang bisa diakses oleh seluruh lapis sosial masyarakat. Padahal, dengan aset finansialnya yang begitu melimpah, tak sulit bagi Gontor menggagas program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tak mampu yang tersumbat hak-hak pendidikannya.
***
Paragraf-paragraf di atas tentu saja sekadar kesan subjektif seorang santri yang pernah empat tahun mereguk pahit-manisnya pendidikan di lembaga pendidikan yang dengan eklektik memulung dan mencoba menggabungkan etos Universitas Al-Azhar (sebagai salah satu kubu intelektual Islam garda depan), Syanggit (yang menginspirasi pentingnya beasiswa bagi para santri), Santiniketan-nya Rabindranath Tagore (dengan pendekatan kebudayaannya), dan Aligarh (yang mengilhami pentingnya pemikiran modern dalam Islam), sebagai role model-nya itu.

Lembaga pendidikan Islam yang empat dekade lalu sudah disebut-sebut Indonesianis Australia, Lance Castles, sebagai "suatu perwujudan dari apa yang diharapkan dari reformisme Islam untuk masyarakat Indonesia" itu, sejak 10 April hingga 28 Mei nanti merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Sebuah perjalanan cukup panjang dengan beragam lompatan yang sebagian besarnya cukup mencerahkan bagi kemajuan dunia pendidikan Islam di Indonesia yang secara umum kondisinya masih belum begitu menggembirakan.

Sumber: http://asrori-nganjuk.blospot.com
READ MORE - Gontor, 80 Tahun Kemudian

MPI

Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah

(Mahasiswa Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Malang)

Ada sesuatu yang terasa ganjil di lingkungan masyarakat pendidikan. Pola-pola pendidikan yang monologis, banyaknya guru yang tidak mengikuti perkembangan wawasan keilmuan, serta tidak adanya kehendak untuk memberikan ruang bagi ekspresi pemikiran yang liar sekalipun, merupakan dampak dari suatu pemisahan kegiatan belajar mengajar di kelas dengan kehidupan sehari-hari. Padahal kehadiran sekolah dan perguruan tinggi yang bercikal bakal di Yunani dahulu kala dimaksudkan untuk mengembangkan kebebasan berpikir, diskusi-diskusi dan simposium-simposium. Bila kita cermati benar-benar, pola pendidikan yang berlaku saat ini di Indonesia hanyalah berorientasi pada berapa jumlah mahasiswa yang telah dihasilkan oleh suatu institusi pendidikan. Tidak ada pengembangan ilmu, dan karenanya tak heran jika peringkat lembaga pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia secara keseluruhan saat ini berada pada titik yang paling memalukan.

A. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam

Prof. Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha” yaitu :

  1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
  2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
  3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
  4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
  5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.

B. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam

Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut :

Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.

Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.

Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.

Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.

C. Mempertemukan Aliran-Aliran Filsafat

Dalam kerangka teoritis apakah sebenarnya yang menjadi landasan akan arti penting teoritis sejauh mana mempunyai kegunaan praktis. Eksistenisialisme memberikan gambaran bahwa tujuan pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh peserta didik, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu menreka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialisme menolak pendidikan dengan sistem indoktrinisasi.

Setelah pengarahan eksistensialisme tersebut, sejauhmana pemikiran mereka juga mempunyai landasan pragmatis. Pragmatisme memandang realita sebagai suatu proses dalam waktu, yang berarti orang yang mengetahui mempunyai peranan untuk menciptakan atau mengembangkan hal-hal yang diketahui. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tersebut dapat menjadi unsure penentu mengembangkan pengetahuan itu pula. Pragmatisme meletakkan pemakaian mengenai sesuatu diatas pengetahuan itu sendiri, maka dari itu utilitas beserta kemampuan perwujudan nyata adalah hal-hal yang mempunyai kedudukan utama di sekitar pengetahuan mengenai sesuatu.[1] According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view.[2] Nilai kegunaan praktis ini merupakan asal dari pemikiran sintesis antara idealisme dengan realisme yang saling melengkapi.

Dalam kegunaan pragmatis, fenomena yang terjadi bukan berarti hanya standardisasi pragmatis. Konsep dalam perguruan tinggi yang masa dulu sebagai konsep link and match, di dalamnya berakar dari pragmatisme yang parsial. Sebagaimana yang dikritik oleh rekonstruksionisme merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaissance sivilisasi modern. Para pendidik rekonstruksionisme melihat pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Dan kurikulum dijadikan sebagai problem centered yang merupakan pembentukan ordo sosial baru.

Guna membangun kerasnya peradaban yang baru, progresivisme memberikan warna bahwasanya pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, melainkan kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberikan rangsangan yang tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme), yang termasuk dalam golongan progresivisme menyatakan sekolah adalah institusi sosial dan pendidikan sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living), bukan sebagai persiapan masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus diutamakan, bukan subject matter.

Penciptaan narasi tersebut dapat dilihat dalam tiga persoalan. Pertama, penggunaan filsafat pendidikan analitik, secara definitif Rapar menggambarkan filsafat pendidikan analitik menganalisis serta menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan dan sebagainya. Alat-alat yang digunakan adalah logika dan linguistik. Kedua, pendidikan seharusnya bersifat dialogis, bukan semata-mata transfer ilmu.

Ketiga, pendidikan sebagai teori kritik, mazhab Franfurt memberikan titik perluasan bahwasanya teori kritik bercirikan kritik terhadap masyarakat, bersifat historis yang berakar kepada tata pemikiran dan situasi tertentu, memiliki kekuatan untuk mengkritik fenomena yang dihadapi sekaligus melakukan kritik terhadap dirinya sendiri dan tidak memisahkan antara teori dan praktik, tindakan dan pengetahuan serta selalu melayani transformasi praktik sosial.

D. Positivisme

Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[3]

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.[4]

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.[5]

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.[6]

Pro dan kontra positivisme

Positivis merupakan epistemologi yang menjelaskan dan memperkirakan apa yang terjadi pada dunia sosial dengan mencari stabilitas dan hubungan fundamental antara elemen-elemen di dalamnya. Positivis setuju bahwa perkembangan dari ilmu merupakan proses kumulatif dimana pemikiran-pemikiran baru ditambahkan ke koleksi ilmu yang sudah ada dan hipotesis yang salah dieliminasi.[7]

Anti-positivisme epistemologi menentang pemikiran atas kegunaan dari pencarian hukum atau aturan-aturan dasar dalam dunia sosial. Menurut kaum anti-positivis, dunia sosial bersifat relatif dan hanya dapat dipahami dari pandangan individu yang langsung terlibat dalam aktivitas yang diteliti. Dari pandangan ini, ilmu sosial dilihat sebagai hal subjektif daripada objektif.[8]

Positivisme, dengan tokoh besarnya August Comte, memang telah menghegemonikan prosedural penelitian ilmu alam kepada seluruh disiplin ilmu lainnya. Comte pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang sahih selain yang mengikuti cara-cara ilmu alam. Tapi kita juga mesti menyadari bahwa pada waktu itu memang ada semangat untuk menghormati fisika sebagai pengganti filsafat. Menurut Immanuel Walerstein, “begitu kerja empiris eksperimental menjadi lebih sentral dalam dunia ilmu, maka filsafat oleh para ilmuwan alam dipandang sebagai pengganti teologi belaka, yang sama-sama bersalah atas pernyataan-pernyataan kebenaran apriori yang tak dapat diuji.” Dan pada perkembangannya, filsafat yang bertumpu pada aliran idealisme dengan segala variannya.

Dan dengan berbagai faktor seperti betapa bergengsinya ber-fisika, maka seluruh ilmu-ilmu kemanusiaan pun lantas mengikuti jalan fisika sebagaimana yang diproklamirkan oleh Comte itu. Bahkan argumen fisika klasik yang menyatakan bahwa materi itu diam dan pasif – dan karena diam-nya itu maka materi dapat diukur –diadopsi bulat-bulat oleh ilmuwan sosial yang menganalogikan materi itu sebagai masyarakat. Semenjak itu pula, dalam semangat pengukuran, manusia mulai dianggap sekedar angka-angka. Intelejensia manusia pun mulai diukur dalam bentuk IQ. Bahkan sempat ada mitos bahwa IQ itu tetap dan tidak berubah, sebelum akhirnya digusur oleh EQ, SQ yang kemudian dirangkum oleh Agus Nggermanto dalam Quantum Quotient (QQ).

Positivisme yang menganggap kriterium kebenaran bergantung pada keterukuran dan bebas nilai pada hakikatnya telah membutakan para ilmuwan dalam melihat kebobrokan masyarakat serta kewajiban emansipatorisnya. Mereka tidak mampu melihat sebuah kesalahan atau kebenaran karena memakai kacamata yang bermerk ‘generalisasi bin reduksionis yang determinat’. Bagi mereka cukup untuk memungut beberapa sampel saja untuk kemudian mengklaim itu sebagai representasi dari keseluruhan. Tak heran jika pribadi-pribadi hilang. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang memiliki jiwa, nafsu, pemikiran dan kehendak bebas, diredusir menjadi kepingan-kepingan mesin yang kemudian disusun menurut teknik baku yang siap pakai.

E. Interpretive

Paradigma ini berguna untuk memahami dunia sebagaimana adanya, memahami fundamental alamiah dari dunia sosial pada level pengalaman yang bersifat subjektif. Pendekatan yang dilakukan oleh paradigma ini terhadap ilmu sosial bersifat nominalist, anti positivist, voluntarist, dan ideographic. Paradigma ini memandang dunia sosial sebagai proses soaisl yang berkembang, yang bersumber dari pemikian individual. Paradigma ini juga bersumber dari tradisi pemikiran sosial german idealist.

F. Kritisme

Aliran ini adalah penggabungan antara rasionalisme dan empirisme. Bahwa pengetahuan ini diperoleh melalui indera pikiran/akal.

Melalui metode-metode di atas, suatu pengetahuan dianggap benar apabila sesuatu dugaan atau hipotesa sesuai dengan data-data empiris setelah melalui pengujian. Cara sederhana dapat dikatakan bahwa suatu teori dikatakan benar jika : (1) konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, (2) cocok dengan fakta-fakta empiris,sebab teori yang bagaimanapun konsistennya apabila tidak didukung oleh pengujian empiris, tidak diterima kebenarannya secara ilmiah. Dengan demikian,dapat dikatakan bahwa logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan. Dalam sebuah system mekanisme korektif.

Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya.

2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konsentrasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmuah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.

3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.

4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.

5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran disini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terapat fakta yang menyetakan sebaliknya.

Bagaimana pendidikan kritis?

Di atas telah diuraikan posisi pendidikan berkaitan dengan persoalan relasi sosialnya beserta kritik pemikiran kritis radikal terhadap kenetralan pendidikan aliran liberal/positivisme. Pertanyaan kemudian, apa sesungguhnya pendidikan kritis ini?

Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Pendidikan haruslah berbentuk suatu usaha yang mengarah pada cita-cita ideal/positif bagi umat manusia. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, strata gender, kemiskinan, marginalisasi kaum bawah dan penyelewengan HAM, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.

Lebih idealnya, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial yang menindas (Pedagogi of the Opresed, New York 1986:67). Ia juga melakukan kritik terhadap kapitalisme dan mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demo-kratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan.

Oleh karena itu, pendidikan dalam mainstream ini adalah media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Perangkat pisau analisis yang dipakai dalam memahami kontradiksi sosial adalah perspektif kelas. Analisis kelas ini ini lebih memfokuskan pada relasi struktur sosial, ketimbang hanya memfokuskan pada korban eksploitasi. Dengan demikian, yang menjadi agenda utama pendidikan kritis adalah tidak sekadar menjawab kebutuhan praktis untuk mengubah kondisi golo-ngan miskin, terbelakang, namun juga (meminjam istilah Antonio Gramsci) adalah melakukan counter hegemoni dan counter wacana terhadap ideologi sosial yang telah mengakar dalam keyakinan.

Metode praksis

Metode praksis yang dipakai dalam persoalan ini bertitik tolak dari model pendidikan di luar kebanyakan sekolah formal yang kini banyak kita saksikan. Kalau pedagogi kita kenal sebagai manajemen mendidik anak, metode yang dipakai pendidikan kritis adalah andragogi yang dikenal sebagai mendidik orang dewasa.

Perbedaan keduanya sangat mencolok. Walaupun pedagogi bukan hanya seni mendidik anak dalam kategori usia, kebanyakan kita me-nyaksikan model ini dipakai oleh sistem sekolah kita. Pengertiannya adalah menempatkan murid sebagai anak-anak yang dianggap masih kosong dari ilmu pengetahuan. Ibarat botol kosong, ia perlu diisi dan setelah penuh, sang murid telah dianggap lulus/selesai.

Konsekuensi metode ini adalah menempatkan peserta didik secara pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek dan guru menjadi subjek. Guru mengurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi murid dievaluasi. Kegitan belajar ini me-nempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran (Seri Pendidikan Popular, 1999:24).

Berbalik dari itu, andragogi adalah pendidikan pendekatan orang ”dewasa” yang menempatkan murid sebagi subjek dari sistem pendidikan. Knowles (1970), menggambarkan murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan, mampu mengambil manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, me-nganalisis dan meyimpulkan, serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai ”fasilitator”, bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.

Itulah yang diharapkan dari Ivan Ilich saat pendidikan kemudian sebagai sarana bagi ajang kreativitas minat dan bakat peserta. Visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagimana pentingnya membangun kehidupan yang humanis.


Biodata Singkat Penulis

Name : Muhammad Asrori Ardiansyah

Place/Date of Birth : Nganjuk, April 25th , 1980

Address : Paldapalang Jogomerto Tanjunganom Nganjuk East Java

Indonesia

Contact Person : 085649311583

E-Mail : m.asrori@telkom.net

Weblog : http://staim-nglawak.blogspot.com

Ethnic/Nationality : Javanese/Indonesian

Occupation : Student of the Graduate Program of the State Islamic University of Malang

Educational Background

1. Islamic Training College “Darussalam” Gontor Ponorogo

2. Miftahul ‘Ula Islamic College Nglawak Nganjuk

3. The State Islamic University Of Malang



[1]Barnadib,Imam,1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta, 23.

[2]Bashori,Tauhid,2004, Pragmatisme Pendidikan, telaah Pemikiran John Dewey, http://www.geocities.com/ HotSprings/6774/j-13.html, diambil pada 9 Januari 2008.

[5]Ibid.

[6]Ibid.

[7]Gibson Burrell and Gareth Morgan, Sociological Paradigms and Organisational Analysis. Elements of the Sociology Corporate Life, London, Heinemann , 1979, chapter 1-3

[8]Ibid.

READ MORE - MPI

DIMENSI-DIMENSI FILSAFAT

DIMENSI-DIMENSI FILSAFAT

DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah

(Mahasiswa Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Malang)

Ada sesuatu yang terasa ganjil di lingkungan masyarakat pendidikan. Pola-pola pendidikan yang monologis, banyaknya guru yang tidak mengikuti perkembangan wawasan keilmuan, serta tidak adanya kehendak untuk memberikan ruang bagi ekspresi pemikiran yang liar sekalipun, merupakan dampak dari suatu pemisahan kegiatan belajar mengajar di kelas dengan kehidupan sehari-hari. Padahal kehadiran sekolah dan perguruan tinggi yang bercikal bakal di Yunani dahulu kala dimaksudkan untuk mengembangkan kebebasan berpikir, diskusi-diskusi dan simposium-simposium. Bila kita cermati benar-benar, pola pendidikan yang berlaku saat ini di Indonesia hanyalah berorientasi pada berapa jumlah mahasiswa yang telah dihasilkan oleh suatu institusi pendidikan. Tidak ada pengembangan ilmu, dan karenanya tak heran jika peringkat lembaga pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia secara keseluruhan saat ini berada pada titik yang paling memalukan.

A. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam

Prof. Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha” yaitu :

  1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
  2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
  3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
  4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
  5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.

B. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam

Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut :

Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.

Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.

Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.

Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.

C. Mempertemukan Aliran-Aliran Filsafat

Dalam kerangka teoritis apakah sebenarnya yang menjadi landasan akan arti penting teoritis sejauh mana mempunyai kegunaan praktis. Eksistenisialisme memberikan gambaran bahwa tujuan pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh peserta didik, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu menreka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialisme menolak pendidikan dengan sistem indoktrinisasi.

Setelah pengarahan eksistensialisme tersebut, sejauhmana pemikiran mereka juga mempunyai landasan pragmatis. Pragmatisme memandang realita sebagai suatu proses dalam waktu, yang berarti orang yang mengetahui mempunyai peranan untuk menciptakan atau mengembangkan hal-hal yang diketahui. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tersebut dapat menjadi unsure penentu mengembangkan pengetahuan itu pula. Pragmatisme meletakkan pemakaian mengenai sesuatu diatas pengetahuan itu sendiri, maka dari itu utilitas beserta kemampuan perwujudan nyata adalah hal-hal yang mempunyai kedudukan utama di sekitar pengetahuan mengenai sesuatu.[1] According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view.[2] Nilai kegunaan praktis ini merupakan asal dari pemikiran sintesis antara idealisme dengan realisme yang saling melengkapi.

Dalam kegunaan pragmatis, fenomena yang terjadi bukan berarti hanya standardisasi pragmatis. Konsep dalam perguruan tinggi yang masa dulu sebagai konsep link and match, di dalamnya berakar dari pragmatisme yang parsial. Sebagaimana yang dikritik oleh rekonstruksionisme merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaissance sivilisasi modern. Para pendidik rekonstruksionisme melihat pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Dan kurikulum dijadikan sebagai problem centered yang merupakan pembentukan ordo sosial baru.

Guna membangun kerasnya peradaban yang baru, progresivisme memberikan warna bahwasanya pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, melainkan kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberikan rangsangan yang tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme), yang termasuk dalam golongan progresivisme menyatakan sekolah adalah institusi sosial dan pendidikan sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living), bukan sebagai persiapan masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus diutamakan, bukan subject matter.

Penciptaan narasi tersebut dapat dilihat dalam tiga persoalan. Pertama, penggunaan filsafat pendidikan analitik, secara definitif Rapar menggambarkan filsafat pendidikan analitik menganalisis serta menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan dan sebagainya. Alat-alat yang digunakan adalah logika dan linguistik. Kedua, pendidikan seharusnya bersifat dialogis, bukan semata-mata transfer ilmu.

Ketiga, pendidikan sebagai teori kritik, mazhab Franfurt memberikan titik perluasan bahwasanya teori kritik bercirikan kritik terhadap masyarakat, bersifat historis yang berakar kepada tata pemikiran dan situasi tertentu, memiliki kekuatan untuk mengkritik fenomena yang dihadapi sekaligus melakukan kritik terhadap dirinya sendiri dan tidak memisahkan antara teori dan praktik, tindakan dan pengetahuan serta selalu melayani transformasi praktik sosial.

D. Positivisme

Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[3]

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.[4]

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.[5]

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.[6]

Pro dan kontra positivisme

Positivis merupakan epistemologi yang menjelaskan dan memperkirakan apa yang terjadi pada dunia sosial dengan mencari stabilitas dan hubungan fundamental antara elemen-elemen di dalamnya. Positivis setuju bahwa perkembangan dari ilmu merupakan proses kumulatif dimana pemikiran-pemikiran baru ditambahkan ke koleksi ilmu yang sudah ada dan hipotesis yang salah dieliminasi.[7]

Anti-positivisme epistemologi menentang pemikiran atas kegunaan dari pencarian hukum atau aturan-aturan dasar dalam dunia sosial. Menurut kaum anti-positivis, dunia sosial bersifat relatif dan hanya dapat dipahami dari pandangan individu yang langsung terlibat dalam aktivitas yang diteliti. Dari pandangan ini, ilmu sosial dilihat sebagai hal subjektif daripada objektif.[8]

Positivisme, dengan tokoh besarnya August Comte, memang telah menghegemonikan prosedural penelitian ilmu alam kepada seluruh disiplin ilmu lainnya. Comte pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang sahih selain yang mengikuti cara-cara ilmu alam. Tapi kita juga mesti menyadari bahwa pada waktu itu memang ada semangat untuk menghormati fisika sebagai pengganti filsafat. Menurut Immanuel Walerstein, “begitu kerja empiris eksperimental menjadi lebih sentral dalam dunia ilmu, maka filsafat oleh para ilmuwan alam dipandang sebagai pengganti teologi belaka, yang sama-sama bersalah atas pernyataan-pernyataan kebenaran apriori yang tak dapat diuji.” Dan pada perkembangannya, filsafat yang bertumpu pada aliran idealisme dengan segala variannya.

Dan dengan berbagai faktor seperti betapa bergengsinya ber-fisika, maka seluruh ilmu-ilmu kemanusiaan pun lantas mengikuti jalan fisika sebagaimana yang diproklamirkan oleh Comte itu. Bahkan argumen fisika klasik yang menyatakan bahwa materi itu diam dan pasif – dan karena diam-nya itu maka materi dapat diukur –diadopsi bulat-bulat oleh ilmuwan sosial yang menganalogikan materi itu sebagai masyarakat. Semenjak itu pula, dalam semangat pengukuran, manusia mulai dianggap sekedar angka-angka. Intelejensia manusia pun mulai diukur dalam bentuk IQ. Bahkan sempat ada mitos bahwa IQ itu tetap dan tidak berubah, sebelum akhirnya digusur oleh EQ, SQ yang kemudian dirangkum oleh Agus Nggermanto dalam Quantum Quotient (QQ).

Positivisme yang menganggap kriterium kebenaran bergantung pada keterukuran dan bebas nilai pada hakikatnya telah membutakan para ilmuwan dalam melihat kebobrokan masyarakat serta kewajiban emansipatorisnya. Mereka tidak mampu melihat sebuah kesalahan atau kebenaran karena memakai kacamata yang bermerk ‘generalisasi bin reduksionis yang determinat’. Bagi mereka cukup untuk memungut beberapa sampel saja untuk kemudian mengklaim itu sebagai representasi dari keseluruhan. Tak heran jika pribadi-pribadi hilang. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang memiliki jiwa, nafsu, pemikiran dan kehendak bebas, diredusir menjadi kepingan-kepingan mesin yang kemudian disusun menurut teknik baku yang siap pakai.

E. Interpretive

Paradigma ini berguna untuk memahami dunia sebagaimana adanya, memahami fundamental alamiah dari dunia sosial pada level pengalaman yang bersifat subjektif. Pendekatan yang dilakukan oleh paradigma ini terhadap ilmu sosial bersifat nominalist, anti positivist, voluntarist, dan ideographic. Paradigma ini memandang dunia sosial sebagai proses soaisl yang berkembang, yang bersumber dari pemikian individual. Paradigma ini juga bersumber dari tradisi pemikiran sosial german idealist.

F. Kritisme

Aliran ini adalah penggabungan antara rasionalisme dan empirisme. Bahwa pengetahuan ini diperoleh melalui indera pikiran/akal.

Melalui metode-metode di atas, suatu pengetahuan dianggap benar apabila sesuatu dugaan atau hipotesa sesuai dengan data-data empiris setelah melalui pengujian. Cara sederhana dapat dikatakan bahwa suatu teori dikatakan benar jika : (1) konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, (2) cocok dengan fakta-fakta empiris,sebab teori yang bagaimanapun konsistennya apabila tidak didukung oleh pengujian empiris, tidak diterima kebenarannya secara ilmiah. Dengan demikian,dapat dikatakan bahwa logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan. Dalam sebuah system mekanisme korektif.

Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya.

2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konsentrasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmuah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.

3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.

4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.

5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran disini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terapat fakta yang menyetakan sebaliknya.

Bagaimana pendidikan kritis?

Di atas telah diuraikan posisi pendidikan berkaitan dengan persoalan relasi sosialnya beserta kritik pemikiran kritis radikal terhadap kenetralan pendidikan aliran liberal/positivisme. Pertanyaan kemudian, apa sesungguhnya pendidikan kritis ini?

Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Pendidikan haruslah berbentuk suatu usaha yang mengarah pada cita-cita ideal/positif bagi umat manusia. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, strata gender, kemiskinan, marginalisasi kaum bawah dan penyelewengan HAM, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.

Lebih idealnya, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial yang menindas (Pedagogi of the Opresed, New York 1986:67). Ia juga melakukan kritik terhadap kapitalisme dan mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demo-kratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan.

Oleh karena itu, pendidikan dalam mainstream ini adalah media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Perangkat pisau analisis yang dipakai dalam memahami kontradiksi sosial adalah perspektif kelas. Analisis kelas ini ini lebih memfokuskan pada relasi struktur sosial, ketimbang hanya memfokuskan pada korban eksploitasi. Dengan demikian, yang menjadi agenda utama pendidikan kritis adalah tidak sekadar menjawab kebutuhan praktis untuk mengubah kondisi golo-ngan miskin, terbelakang, namun juga (meminjam istilah Antonio Gramsci) adalah melakukan counter hegemoni dan counter wacana terhadap ideologi sosial yang telah mengakar dalam keyakinan.

Metode praksis

Metode praksis yang dipakai dalam persoalan ini bertitik tolak dari model pendidikan di luar kebanyakan sekolah formal yang kini banyak kita saksikan. Kalau pedagogi kita kenal sebagai manajemen mendidik anak, metode yang dipakai pendidikan kritis adalah andragogi yang dikenal sebagai mendidik orang dewasa.

Perbedaan keduanya sangat mencolok. Walaupun pedagogi bukan hanya seni mendidik anak dalam kategori usia, kebanyakan kita me-nyaksikan model ini dipakai oleh sistem sekolah kita. Pengertiannya adalah menempatkan murid sebagai anak-anak yang dianggap masih kosong dari ilmu pengetahuan. Ibarat botol kosong, ia perlu diisi dan setelah penuh, sang murid telah dianggap lulus/selesai.

Konsekuensi metode ini adalah menempatkan peserta didik secara pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek dan guru menjadi subjek. Guru mengurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi murid dievaluasi. Kegitan belajar ini me-nempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran (Seri Pendidikan Popular, 1999:24).

Berbalik dari itu, andragogi adalah pendidikan pendekatan orang ”dewasa” yang menempatkan murid sebagi subjek dari sistem pendidikan. Knowles (1970), menggambarkan murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan, mampu mengambil manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, me-nganalisis dan meyimpulkan, serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai ”fasilitator”, bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.

Itulah yang diharapkan dari Ivan Ilich saat pendidikan kemudian sebagai sarana bagi ajang kreativitas minat dan bakat peserta. Visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagimana pentingnya membangun kehidupan yang humanis.


Biodata Singkat Penulis

Name : Muhammad Asrori Ardiansyah

Place/Date of Birth : Nganjuk, April 25th , 1980

Address : Paldapalang Jogomerto Tanjunganom Nganjuk East Java

Indonesia

Contact Person : 085649311583

E-Mail : m.asrori@telkom.net

Weblog : http://staim-nglawak.blogspot.com

Ethnic/Nationality : Javanese/Indonesian

Occupation : Student of the Graduate Program of the State Islamic University of Malang

Educational Background

1. Islamic Training College “Darussalam” Gontor Ponorogo

2. Miftahul ‘Ula Islamic College Nglawak Nganjuk

3. The State Islamic University Of Malang



[1]Barnadib,Imam,1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta, 23.

[2]Bashori,Tauhid,2004, Pragmatisme Pendidikan, telaah Pemikiran John Dewey, http://www.geocities.com/ HotSprings/6774/j-13.html, diambil pada 9 Januari 2008.

[5]Ibid.

[6]Ibid.

[7]Gibson Burrell and Gareth Morgan, Sociological Paradigms and Organisational Analysis. Elements of the Sociology Corporate Life, London, Heinemann , 1979, chapter 1-3

[8]Ibid.

READ MORE - DIMENSI-DIMENSI FILSAFAT

KONSEP MANAJEMEN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

KONSEP MANAJEMEN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah

(Mahasiswa Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Malang)


Al-Qur’anul karim sebagai kitab suci kaum muslimin antara lain berfungsi sebagai “hudan” sarat dengan berbagai petunjuk agar manusia dapat menjadi khalifah yang baik di muka bumi ini. Untuk memperoleh petunjuk tersebut diperlukan adanya pengkajian terhadap al-Qur’an itu sendiri, sehingga kaum muslimin benar-benar bisa mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari pada isi kandungan al-Qur’an tersebut yang di dalamnya kompleks membahas permasalahan-permasalahan yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang belum terjadi. Semua hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, maupun keberadaan alam ini sudah termaktub dalam al-Qur’an. Termasuk permasalahan mulai dari asal kejadian manusia, sampai pada aktivitas yang dilakukan manusia dalam hal ini tentang Manajemen Pendidikan, hal tersebut sudah tertulis di dalam al-Qur’an.

Manajemen menurut bahasa berarti pemimpin, direksi, pengurus, yang diambil dari kata kerja manage yang berati mengemudikan, mengurus, dan mermerintah[1]. Manajemen menurut Dr. Hadari Nawawi adalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manajer dalam memanage organisasi, lembaga, maupun perusahaan.[2] Manajemen pendidikan Islam merupakan aktifitas untuk memobilisasi dan memadukan segala sumber daya pendidikan Islam dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sumber daya yang dimobilisasi dan dipadukan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut tentunya meliputi apa yang disebut 3 M (man, money, dan material), dan semua itu tidak hanya terbatas yang ada di sekolah/madrasah atau pimpinan perguruan tinggi Islam. Berkomunikasi, bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait baik kedalam maupun keluar sangat membantu dan menentukan kemajuan lembaga pendidikan yang dipimpinnya, itulah proses dari manajemen.

Untuk merealisasikan semua aspek yang terungkap dalam paparan di atas, ternyata tak lepas dari permasalahan manajemen. Dan manajemen sendiri sesungguhnya sudah di jelaskan dalam al-Qur’an. Jika kita mau memahami dan menganalisis beberapa macam aspek yang ada bahwa manajemen adalah untuk mengetahui kemana arah yang akan dituju, kesukaran apa yang harus dihadapai, kekuatan apa yang harus dijalankan dan bagaimana anda mengemudikan kendaraan anda dengan membuat penumpang anda nyaman berada di kendaraan anda yang anda kemudikan, bukan malah sebaliknya.

Yang harus disadari adalah bahwa pemahaman manusia terhadap al-Qur’an, bagaimanapun sepenuhnya bersandar pada kapasitas akal, dan apapun yang bersandar pada akal tersebut tidak pernah menjadi hal yang mutlak, jadi sepenuhnya persoalan akal dan kwalitasnya dalam memahami al-Qur’an dan seberapa jauh kemampuan akal untuk kajian dan interprestasi secara tepat dalam konteks tertentu. Untuk itulah dalam pembahasan ini penulis mencoba mensinergiskan dan mengungkap secara langsung bahwa manajemen pendidikan Islam sesungguhnya dapat kita kaji dan kita interpretasikan dengan al-Qur’an jika akal kita mau berpikir. Karena sesungguhnya al-Qur’an sendiri menjelaskan tentang hal itu.

A. Komponen Manajemen Pendidikan Islam Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an

Berbicara masalah manajemen tentunya tidak bisa lepas dengan empat komponen yang ada yaitu (POAC) planning, organizing, actuating dan controlling. Menurut hemat penulis empat komponen tersebut di jelaskan di beberapa ayat al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya maka akan penulis uraikan satu persatu sebagai berikut:

a. Perencanaan (planning)

Planning atau perencanaan adalah keseluruhan proses dan penentuan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan[3]. Ketika dikaitkan dengan sistem pendidikan dalam suatu organisasi kependidikan, maka perencanaan pendidikan menurut ST Vembriarto (1988 : 39) dapat didefiniskan sebagai penggunaan analisa yang bersifat rasional dan sistematis terhadap proses pengembangan pendidikan yang bertujuan untuk menjadikan pendidikan menjadi lebih efektif dan efisien dalam menanggapi kebutuhan dan tujuan murid-murid serta masyarakat[4].

Dalam perencanaan terlebih yang harus diperhatikan adalah apa yang harus dilakukan dan siapa yang akan melakukannya. Jadi perencanaan disini berarti memilih sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan, kapan, bagimana, dan oleh siapa.

Perencanaan yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi diwaktu yang akan dating dalam mana perencanaan dan kegiatan yang akan diputuskan akan dilaksanakan, serta periode sekarang pada saat rencana di buat. Perencanaan merupakan aspek penting dari pada manajemen. Keperluan merencanakan ini terletak pada kenyataan bahwa manusia dapat mengubah masa depan menurut kehendaknya. Manusia tidak boleh menyerah pada keadaan dan masa depan yang menentu tetapi menciptakan masa depan itu. Masa depan adalah akibat dari keadaan masa lampau, keadaan sekarang dan disertai dengan usaha-usaha yang akan kita laksanakan. Dengan demikian landasan dasar perencanaan adalah kemampuan manusia untuk secara sadar memilih alternative masa depan yang dikehendakinya dan kemudian mengarahkan daya upayanya untuk mewujudkan masa depan yang dipilihnya dalam hal ini manajemen yang akan diterapkan seperti apa. Sehingga dengan dasar itulah maka suatu rencana itu akan terealisasikan dengan baik.[5]

Adapun kegunaan perencanaan adalah sebagai berikut:

1. karena perencanaan meliputi usaha untuk memetapkan tujuan atau memformulasikan tujuan yang dipilih untuk dicapai, maka perencanaan haruslah bisa membedakan point pertama yang akan dilaksanakan terlebih dahulu

2. dengan adanya perencanaan maka memungkinkan kita mengetahui tujuan-tujuan yang kan kita capai

3. dapat memudahkan kegiatan untuk mengidentifikasikan hambatan-hambatan yang akan mungkin timbul dalam usaha mencapai tujuan.[6]

Dalam upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi suatu organisasi pendidikan, perhitungan-perhitungan secara teliti sudah harus dilakukan pada vase perencanaan pendidikan. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka berlaku prinsip-prinsip perencanaan, yaitu :

  1. Perencanaan harus bersifat komprehensif
  2. Perencanaan pendidikan harus bersifat integral
  3. Perencanaan pendidikan harus memperhatikan aspek-aspek kualitatif
  4. Perencanaan pendidikan harus merupakan rencana jangka panjang dan kontinyu
  5. Perencanaan pendidikan harus didasarkan pada efisiensi
  6. Perencanaan pendidikan harus memperhitungkan semua sumber-sumber yang ada atau yang dapat diadakan
  7. Perencanaan pendidikan harus dibantu oleh organisasi administrasi yang efisien dan data yang dapat diandalkan[7].

Bertolak dari hal tersebut, bahwa tujuan atau orientasi ke arah sasaran merupakan landasan untuk membedakan antara planning dengan spekulasi yang sekedar dibuat secara serampangan. Sebagai suatu ciri utama dari langkah tindakan eksekutif pada semua tingkat organisasi, planning merupakan suatu proses intelektual yang menyangut berbagai tingkat jalan pemikiran yang kreatif dan pemanfaatan secara imajinatifatas dari variabel-variael yang ada. Planning memungkinkan pada administrator untuk meramalkan secara jitu kemungkin anakibat yang timbul dari berbagai kekuatan, sehingga ia bisa mempengaruhi dan sedikit banyak mengontrol arah terjadinya perubahan yang dikehendaki[8].

Dalam proses perencanaan terhadap program pendidikan yang akan dilaksanakan, khususnya dalam lembaga pendidikan Islam, maka prinsip perencanaan harus mencerminkan terhadap nilai-nilai islami yang bersumberkan pada al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal perencanaan ini al-Qur'an mengajarkan kepada manusia :

...وافعل الخير لعلكم تفلحون (الحج : 77)

Artinya : Dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapatkan keberuntungan (Al-Hajj : 77)

Selain ayat tersebut, terdapat pula ayat yang menganjurkan kepada para manejer atau pemimpin untuk menentukan sikap dalam proses perencanaan pendidikan. yaitu dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 90:

¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan atau kebaikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang perbuatan yang keji, mungkar dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (An-Nahl : 90)

Ayat-ayat lain yang berkesinambungan dengan perencanaan adalah dalam (al-Qur’an 75: 36) bahwa “apakah manusi mengira ia dibiarkan saja tanpa pertanggung jawaban?, dan selanjutnya (al-Qur’an 17:36) sebagai berikut:

Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Ayat tersebut merupakan suatu hal yang sangat prinsipil yang tidak boleh ditawar dalam proses perencanaan pendidikan, agar supaya tujuan yang ingin dicapai dapat tercapai dengan sempurna. Disamping itu pula, intisari ayat tersebut merupakan suatu “pembeda” antara manajemen secara umum dengan manajemen dalam perspektif Islam yang sarat dengan nilai.

b. Pengorganisasian (organizing)

Kegiatan administratif manajemen tidak berakhir setelah perencanaan tersusun. Kegiatan selanjutnya adalah melaksanaan perencanaan itu secara operasional. Salah satu kegiatan administratif manajemen dalam pelaksanaan suatu rencana disebut organisasi atau pengorganisasian.

Organisasi adalah sistem kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Langkah pertama dalam pengorganisasian diwujudkan melalui perencanaan dengan menetapkan bidang-bidang atau fungsi-fungsi yang termasuk ruang lingkup kegiatan yang akan diselenggarakan oleh suatu kelompok kerjasama tertentu. Keseluruhan pembidangan itu sebagai suatu kesatuan merupakan total sistem yang bergerak ke arah satu tujuan. Dengan demikian, setiap pembidangan kerja dapat ditempatkan sebagai sub sistem yang mengemban sejumlah tugas yang sejenis sebagai bagian dari keseluruhan kegiatan yang diemban oleh kelompok-kelompok kerjasama tersebut.

Pembagian atau pembidangan kerja itu harus disusun dalam suatu struktur yang kompak dengan hubungan kerja yang jelas agar yang satu akan mampu melengkapi yang lain dalam rangka mencapai tujuan. Struktur organisasi disebut “segi formal” dalam pengorganisasian karena merupakan kerangka yang terdiri dari satuan-satuan kerja atau fungsi-fungsi yang memiliki wewenang dan tanggung jawab yang bersifat hierarki / bertingkat. Diantara satuan-satuan kerja itu ditetapkan pula hubungan kerja formal dalam menyelanggarakan kerjasama satu dengan yang lain, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing. Disamping segi formal itu, suatu struktur organisasi mengandung kemungkinan diwujudkannya “hubungan informal” yang dapat meningkatkan efisiensi pencapaian tujuan. Segi informal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan kerja yang mungkin dikembangkan karena hubungan pribadi antar personal yang memikul beban kerja dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing.

Satuan kerja yang ditetapkan berdasarkan pembidangan kegiatan yang diemban oleh suatu kelompok kerja sama, pada dasarnya merupakan pembagain tugas yang mengandung sejumlah pekerjaan sejenis. Oleh setiap itu, setiap unit kerja akan menggambarkan jenis-jenis aktivitas yang menjadi kewajibannya untuk diwujudkan.

Wujud dari pelaksanaan organizing ini adalah tampaknya kesatuan yang utuh, kekompakan, kesetiakawanan dan terciptanya mekanisme yang sehat, sehingga kegiatan lancar, stabil dan mudah mencapai tujuan yang ditetapkan[9]. Proses organizing yang menekankan pentingnnya tercipta kesatuan dalam segala tindakan, dalam hal ini al-Qur'an telah menyebutkan betapa pentingnya tindakan kesatuan yang utuh, murni dan bulat dalam suatu organisasi. Firman Allah

(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øŒÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÊÉÌÈ

Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Selanjutnya al-Qur'an memberikan petunjuk agar dalam suatu wadah, tempat, persaudaraan, ikatan, organisasi, kelompok, janganlah timbul pertentangan, perselisihan, perscekcokan yang mengakibatkan hancurnya kesatuan, runtuhnya mekanisme kepemimpinan yang telah dibina. Firman Allah :

(#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur Ÿwur (#qããt»uZs? (#qè=t±øÿtGsù |=ydõs?ur ö/ä3çtÍ ( (#ÿrçŽÉ9ô¹$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÍÏÈ

Artinya : Dan taatilah Allah dan RasulNya, jangalah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar, hilang kekuatanmu, dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (Al-Anfal : 46)

c. Penggerakan (actuating)

Fungsi actuating merupakan bagian dari proses kelompok atau organisasi yang tidak dapat dipisahkan. Adapun istilah yang dapat dikelompokkan ke dalam fungsi ini adalah directing commanding, leading dan coordinating[10].

Karena tindakan actuating sebagaimana tersebut di atas, maka proses ini juga memberikan motivating, untuk memberikan penggerakan dan kesadaran terhadap dasar dari pada pekerjaan yang mereka lakukan, yaitu menuju tujuan yang telah ditetapkan, disertai dengan memberi motivasi-motivasi baru, bimbingan atau pengarahan, sehingga mereka bisa menyadari dan timbul kemauan untuk bekerja dengan tekun dan baik.

Bimbingan menurut Hadari Nawawi[11] (1983 : 36) berarti memelihara, menjaga dan memajukan organisasi melalui setiap personal, baik secara struktural maupun fungsional, agar setiap kegiatannya tidak terlepas dari usaha mencapai tujuan. Dalam realitasnya, kegiatan bimbingan dapat berbentuk sebagai berikut :

  1. Memberikan dan menjelaskan perintah
  2. Memberikan petunjuk melaksanakan kegiatan
  3. Memberikan kesempatan meningkatkan pengetahuan, keterampilan / kecakapan dan keahlian agar lebih efektif dalam melaksanakan berbagai kegiatan organisasi
  4. Memberikan kesempatan ikut serta menyumbangkan tenaga dna fikiran untuk memajukan organisasi berdasarkan inisiatif dan kreativitas masing-masing
  5. Memberikan koreksi agar setiap personal melakukan tugas-tugasnya secara efisien.

Al-Qur'an dalam hal ini telah memberikan pedoman dasar terhadap proses pembimbingan, pengarahan ataupun memberikan peringatan dalam bentuk actuating ini. Allah berfirman :

$VJÍhŠs% uÉZãŠÏj9 $Uù't/ #YƒÏx© `ÏiB çm÷Rà$©! tÏe±u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# z`ƒÏ%©!$# šcqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNßgs9 #·ô_r& $YZ|¡ym ÇËÈ

Artinya: Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, (QS. al-Kahfi: 2)

Actuating juga berarti mengelola lingkungan organisasi yang melibatkan lingkungan dan orang lain, tentunya dengan tata cara yang baik pula. Maka firman Allah mengatakan:

$tBur tb%Ÿ2 š/u šÏ=ôgãŠÏ9 3tà)ø9$# 8Nù=ÝàÎ/ $ygè=÷dr&ur šcqßsÎ=óÁãB ÇÊÊÐÈ

Artinya: Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.

Faktor membimbing dan memberikan peringatan sebagai hal penunjang demi suksesnya rencana, sebab jika hal itu diabaikan akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kelangsungan suatu roda organisasi dan lain-lainnya.

Proses actuating adalah memberikan perintah, petunjuk, pedoman dan nasehat serta keterampilan dalam berkomunikasi[12]. Actuating merupakan inti dari manajemen yang menggerakkan untuk mencapai hasil. Sedangkan inti dari actuating adalah leading, harus menentukan prinsip-prinspi efisiensi, komunikasi yang baik dan prinsip menjawab pertanyaan.

d. Evaluasi/Controlling

Evaluasi dalam konteks manajemen adalah proses untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilaksanakan benar sesuai apa tidak dengan perencanaan sebelumnya. Evaluasi dalam manajemen pendidikan Islam ini mempunyai dua batasan pertama; evaluasi tersebut merupakan proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan, kedua; evaluasi yang dimaksud adalah usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) dari kegiatan yang telah dilakukan.

Evaluasi dalam manajemen pendidikan Islam ini mencakup dua kegiatan, yaitu penilaian dan pengukuran. Untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu, maka dilakukan pengukuran dan wujud dari pengukuran itu adalah pengujian.

Controlling itu penting sebab merupakan jembatan terakhir dalam rantai fungsional kegiatan-kegiatan manajemen. Pengendalian merupakan salah satu cara para manajer untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan organisasi itu tercapai atau tidak dan mengapa terpai atau tidak tercapai. Selain itu controlling adalah sebagai konsep pengendalan, pemantau efektifitas dari perencanaan, pengorganisasian, dan kepemimpinan serta pengambilan perbaikan pada saat dibutuhkan.

Adapun ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan evaluasi/controllilg dapat diterjemahkan sebagai berikut: “ padahal ssungguhnya bagi kamu ada malaikat yang mengawasi pekerjaanmu (10) yang mulia disisi Allah dan yang mencatat pekerjaan itu (11) mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan” (12) (Al-Qur’an 82:10-12).

B. Konsep Manajemen Pendidikan Islam Menurut Perspektif Al-Qur’an

Menurut pendapat kami konsep manajemen pendidikan Islam menurut perspektif (pandangan) al-Qur’an adalah sebagai berikut yaitu fleksibel, efektif, effisien, terbuka, cooperative dan partisipatif.

a. Fleksibel

Fleksibel yang dimaksud adalah tidak kaku (lentur). Menurut pendapat Prof. Dr. Imam Suprayogo bahwa berdasarkan hasil pengamatan beliau walaupun sifatnya masih terbatas, menunjukkan bahwa sekolah atau madrasah meraih prestasi unggul justru karena fleksibelitas pengelolanya dalam menjalankan tugas-tugasnya.[13]

Selanjutnya beliau memberikan penjelasan jika diperlukan pengelola berani mengambil kebijakan atau memutuskan hal-hal yang berbeda dengan tuntutan/petunjuk formal dari atas, oleh karena itu untuk menghidupkan kreativitas para pengelola lembaga pendidikan maka perlu dikembangkan evaluasi yang tidak semata-mata berorientasi pada proses melainkan dapat dipahami pada produk dan hasil yang akan dicapai, jika pandangan ini dipahami, maka manajemen dalam hal ini kinerja manajer atau pemimpin pendidikan tidak hanya diukur dengan menggunakan telah terlaksana progam yang ada, tetapi lebih dari itu adalah sejauh mana pelaksanaan itu melahirkan produk-produk yang diinginkan oleh berbagai pihak.

Petunjuk al-Qur’an mengenai fleksibelitas ini antara lain tercantum dalam surat al-Hajj ayat 78:

(#rßÎg»y_ur Îû «!$# ¨,ym ¾ÍnÏŠ$ygÅ_ 4 uqèd öNä38u;tFô_$# $tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4

Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

Surah al-Baqarah ayat 185

3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#

Artinya: “Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesukaran bagimu”.

b. Efektif dan Efisien

Menurut Dr. Wayan Sidarta; “pekerjaan yangefektif ialah pekerjaan yang memberikan hasil seperti rencana semula, sedangkan pekerjaan yang efisien adalah pekerjaan yang megeluarkan biaya sesuai dengan rencana semula atau lebih rendah, yang dimaksud dengan biaya adalah uang, waktu, tenaga, orang, material, media dan sarana.[14]

Kedua kata efektif dan efisien selalu dipakai bergandengan dalam manajemen karena manajemen yang efektif saja sangat mungkin terjadinya pemborosan, sedangkan manajemen yang efisien saja bisa berakibat tidak tercapainya tujuan atau rencana yang telah ditetapkan.

Ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan acuan kedua hal tersebut adalah

Surat al-Kahfi ayat 103-104 (tentang efektif)

ö@è% ö@yd Lälã¤Îm7t^çR tûïÎŽy£÷zF{$$Î/ ¸x»uHùår& ÇÊÉÌÈ tûïÏ%©!$# ¨@|Ê öNåkߎ÷èy Îû Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# öNèdur tbqç7|¡øts öNåk¨Xr& tbqãZÅ¡øtä $·è÷Yß¹ ÇÊÉÍÈ

Artinya: Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”.

Surat Al-Isra, ayat 26-27 (tentang efisien)

ÏN#uäur #sŒ 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ

Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

c. Terbuka

Yang dimaksud dengan terbuka disini bukan saja terbuka dalam memberikan informasi yang benar tetapi juga mau memberi dan menerima saran/pendapat orang lain, terbuka kesempatan kepada semua pihak, terutama staff untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya baik dalam jabatan maupun bidang lainnya

Al-Qur’an telah memberikan landasan kepada kaum muslin untuk berlaku jujur dan adil yang mana menurut kami hal ini merupakan kunci keterbukaan, karena tidak dapat dilakukan keterbukaan apabila kedua unsure ini tidak terpadu.

Ayat al-Qur’an yang menyuruh umat manusia untuk berlaku jujur dan adil yang keduanya merupakan kunci keterbukaan itu, ada dalam surat An-Nisa ayat 58 sebagai berikut:

¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Menurut Jeane H. Ballantine dalam bukunya “sociology of educational” sebagai berikut:

Principals have power to influence school evectiveness through their leadership and interaction. In the successful school, principals met teachers regularly ask for suggestions and give teacher information concerning effectifiness, principals rarely act alone.[15]

Dari pernyataan diatas jelas bahwa kepala sekolah mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi keefektifan sekolah melalui kepemimpinan dan interaksi mereka. Serta sekolah yang berhasil disamping mengadakan pertemuan secara rutin, juga kepala sekolah menerima dan meminta masukan dari staff sekolah dan jarang melakukan pekerjaannya sendiri. Sedangkan menurut Malayu Hasibuan dalam manajemen terbuka sebelum mengambil suatu keputusan terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada karyawan, memeberikan saran, pendapat-pendapat, tegasnya manajer mengajak karyawan untuk:

1. ikut serta memikirkan kesulitan organisasi dan usaha-usaha pengembangannya

2. mereka tahu arah yang diambil organisasi sehingga tidak ragu-ragu lagi dalam melaksanakannya

3. lebih berpartisipasi dalam masing-masing tugsnya

4. menimbulkan suatu yang sehat sambil berlomba-lomba mengembangkan inisiatif dan daya inovatifnya.[16]

d. Cooperatif dan Partisipasif

Dalam rangka melaksanakan tugasnya manajer pendidikan Islam harus cooperative dan partisipasif. Hal ini disebabkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa manajemen pendidikan Islam harus bersofat cooperative dan partisipasif hal ini disebabkan karena dalam kehidupan ini kita tidak bisa melepaskan diri dari beberapa limitasi (keterbatasan) yang menurut Chester I Bernard imitasi tersebut meliputi:

1. Limitasi physic (alam) misalnya untuk memenuhi kebutuhan makanan ia harus menanam dan ini sering dilakukan orang lain atau bersama orang lain

2. Limitasi Psichologi (ilmu jiwa). Manusia akan menghargai dan menghormatinya

3. Limitasi sociology. Manusia tidak akan dapat hidup tanpa orang lain

4. Limitasi biologis. Manusia secara biologis termasuk makhluk termasuk makhluk yang lemah sehingga untuk memperkuat dan mempertahankan dirinya manusia harus bekerjasama, saling memberi dan menerima bersatu dan mengadakan ikatan dengan manusia.[17]

Ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan cooperative dan partisipatif ini anatara lain, surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut:

¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ

Artinya : Bertolong-menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa dan janganlah kamu bertolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah ayat 2)

Agar tujuan pendidikan Islam bisa dicapai sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukan adanya manajer yang handal yang mampu membuat perencanaan yang baik, mengorganisir, menggerakkan, dan melakukan control serta tahu kekuatan (strength), kelemahan (weakness), kesempatan peluang (opportunity), dan ancaman (threat), maka orang yang diberi amanat untuk memanage lembaga pendidikan Islam hendaknya sesuai dengan al-Qur’an.

Menurut Tanthowi dalam bukunya Unsur-unsur managemen menurut ajaran al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Berpengetahuan luas, kreatif, inisiatif, peka, lapang dada, dan selalu tanggap. Hal ini sesuai dengan surat al-Mujadalah ayat 11

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

2. Bertindak adil dan jujur serta konsekuen

Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surah an-Nisa ayat 58

¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

2.Bertanggung Jawab

Sesuai dengan surah al-An’am ayat 164

ö@è% uŽöxîr& «!$# ÓÈöö/r& $|/u uqèdur >u Èe@ä. &äóÓx« 4 Ÿwur Ü=Å¡õ3s? @à2 C§øÿtR žwÎ) $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 4 §NèO 4n<Î) /ä3În/u ö/ä3ãèÅ_ó£D /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ öNçFZä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tGøƒrB ÇÊÏÍÈ

Artinya: Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."

3.Selektif terhadap informasi

Sesuai dengan surah al-Hujurat ayat 6

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

4.Memberi Peringatan

Sesuai Al-Zariat ayat 55

öÏj.sŒur ¨bÎ*sù 3tø.Ïe%!$# ßìxÿZs? šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÎÎÈ

Artinya: Dan tetaplah memberi peringatan, Karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.

6. Memberi petunjuk dan pengarahan.[18]

Sesuai dengan ayat as-Sajadah ayat 24

$oYù=yèy_ur öNåk÷]ÏB Zp£Jͬr& šcrßöku $tR͐öDr'Î/ $£Js9 (#rçŽy9|¹ ( (#qçR%Ÿ2ur $uZÏG»tƒ$t«Î/ tbqãZÏ%qムÇËÍÈ

Artinya: Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.


Biodata Singkat Penulis

Name : Muhammad Asrori Ardiansyah

Place/Date of Birth : Nganjuk, April 25th , 1980

Address : Paldapalang Jogomerto Tanjunganom Nganjuk East Java

Indonesia

Contact Person : 085649311583

E-Mail : m.asrori@telkom.net

Weblog : http://staim-nglawak.blogspot.com

Ethnic/Nationality : Javanese/Indonesian

Occupation : Student of the Graduate Program of the State Islamic University of Malang

Educational Background

1. Islamic Training College “Darussalam” Gontor Ponorogo

2. Miftahul ‘Ula Islamic College Nglawak Nganjuk

3. The State Islamic University Of Malang



[1] Wojowarsito, Purwadarminta, Kamus lengkap Indonesia Inggris, (Hasta, Jakarta: 1974), Hal. 76.

[2] Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan, (CV. Haji Mas Agung, Surabaya: 1997), Hal. 78

[3] AW. Widjaya, Perencanaan sebagai Fungsi Manajemmen, (PT Bina Aksara, Jakarta: 1987), Hal. 33.

[4] ST Vembriarto, Pengantar Perencanaan Pendidikan (Educational Planning), Andi Offset, Yogyakarta: 1988), Hal : 39.

[5] M. Bukhari, DKK, Azas-Azas Manajemen, (Aditya Media, Yogyakarta: 2005), Hal. 35-36

[6] Ibid, Hal. 37

[7] Djumransjah Indar, Perencanaan Pendidikan (Strategi dan Implementasinya), (Karya Abditama, Surabaya: 1995), Hal. 12.

[8] Piet A. Sahertian, Dimensi Administrasi Pendidikan ,(Usaha Nasional, Surabyata: 1994), Hal. 299.

[9] Jawahir Tanthowi, Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran Al-Qur'an, (Pustaka al-Husna, Jakarta: 1983), Hal. 71.

[10] Ibid, hal : 74.

[11] Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan, ( PT Gunung Agung, Jakarta: 1983), Hal. 36.

[12] Sondang P. Siagian, Sistem Informasi untuk Mengambil Keputusan, (Gunung Agung, Jakarta: 1997), Hal. 88.

[13] Imam Suprayogo, Revormulasi Visi Pendidikan Islam, (STAIN Press, 1994), Hal.74

[14] Made Sidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (PT. Bina Aksara, Jakarta:1999), Hal.4

[15] Jeanne H. Ballantine, Sociology of educational, Wrigh State University Prentice Hall Englewood Cleff Nj, Hal. 183

[16] Malayu Sibuan, Manajemen Dasar Pengertian dan Masalah, (CV. Haji Mas Gus, Jakarta: 1989)

[17] Ibid, Hal. 41

[18] Jawahir Thantowi, UnsurManajemen menurut Ajaran Al-Qur’an , (Al-Husna, Jakarta: 1983) Hal. 63

READ MORE - KONSEP MANAJEMEN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

 
Bottom